makalah mengembangkan potensi seni anak



 







MAKALAH
MENGEMBANGKAN POTENSI SENI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pengembangan Pembelajaran Seni di SD
Dosen Pengampu :
Dr. Kamsidjo Budi Utomo, M.Pd.
Dr. Syakir, M.Sn



Oleh :

Katrina Ramadhani              0103517066
Muhammad                          0103517074
Kurnia Widi Haryono          0103517091   

Rombel 5



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR S2 (PGSD)
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018









KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan karunia dan rahmat-Nya kepada penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan Makalah dengan judul "Mengembangkan Potensi Seni untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran Seni di SD”.
Dalam penyelesaian makalah ini penyusun berusaha untuk melakukan yang terbaik, namun kami menyadari bahwa kemampuan kami terbatas.Oleh karena itu kritik dan saran sangatlah kami harapkan dan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak langsung.
Dengan selesainya makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian makalah ini yang telah memberikan dorongan, masukan dan semangat.
Semoga apa yang kami tulis ini bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya serta mendapat ridha dari Allah Subhanahu wata’ala. Aamiin


Semarang,   Agustus 2018


                                        PENYUSUN








DAFTAR ISI

Kata Pengantar................................................................................................. 2       
Daftar Isi........................................................................................................... 3       
Bab I Pendahuluan
A.    Latar Belakang ................................................................................... 4       
B.     Rumusan Masalah................................................................................ 5       
C.     Tujuan ................................................................................................. 5       
Bab II Pembahasan
A.    Tahap Perkembangan Seni Anak........................................................ 6
1.      Masa Coreng-Moreng (Sribbling Period) 2-4 Tahun.................... 6
2.      Masa Pra-Bagan (Pre Schematic Period) 4-7 Tahun.................... 7
3.      Masa Bagan (Schematic Period) 7-9 Tahun.................................. 8
4.      Masa Realisme Awal (Early Realism) 9-12 Tahun ...................... 9
5.      Masa Naturalisme Semu (Pseudo Naturalistic)12-14 Tahun........ 10
6.      Periode Penentuan (Period Of Decision) 14-17 Tahun................. 11
B.     Seni dalam Pengembangan Potensi Anak........................................... 11
1.      Ruang bagi Ekspresi Diri.............................................................. 12
2.      Pengembanagn Potensi Kreatif..................................................... 13
3.      Meningkatkan Kepekaan Perasaan................................................ 14
4.      Menumbuhkan Rasa Percaya Diri dan Tanggungjawab............... 14
5.      Mengembangkan Wawasan Budaya............................................. 15
6.      Meningkatkan Kesehatan.............................................................. 17
Bab III Penutup
A.    Simpulan ............................................................................................. 19     
Daftar Pustaka.................................................................................................. 20     









BAB I
PENDAHULUAN

A.         Latar Belakang
Kata seni adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata “sani” yang kurang lebih artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Mungkin saya memaknainya dengan keberangkatan orang/ seniaman saat akan membuat karya seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART” (artivisial) yang artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita tidaka usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalu kita memperdebatkan makna yang seperti ini akan semakain memperkeruh suasana kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka.
Seni adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik indra atau emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan cara berekspresi, termasuk musik, sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai estetika.
Kreaivitas merupakan suatu ungkapan yang tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari, khususnya untuk anak usia prasekolah yang selalu berusaha untuk menciptakan segala sesuatu sesuai dengan imajinasinya. Kreativitas anak di tk ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk gambar yang dia sukai, bercerita, bermain peran ataupun menampilkan berbagai gerakan yang berkaitan dengan aktivitas motoriknya. Pengembangan kreativitas anak terdapat pada seluruh bidang kemampuan dasar, yaitu meliputi bidang pengembangan berbahasa, kognitif, dan fisik motor. Dan yang tidak kalah penting adalah pengembangan kreativitas anak dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni. Dalam pengembangan kreativitas dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni terdapat berbagai macam kegiatan yang dapat dilakukan, baik dalam bidang seni tari, seni rupa, maupun seni musik.
B.       Ruumusan Masalah
1.      Bagaimana tahap perkembangan seni anak?
2.      Bagaimana seni dalam pengembangan potensi anak?
C.      Tujuan
1.      Untuk mengetahui tahap perkembangan seni anak.
2.      Untuk menegtahui seni dalam pengembangan potensi anak.























BAB II
PEMBAHASAN

A.          Tahap Perkembangan Seni Anak
Setiap guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori tentang dunia kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan teori tahap-tahap perkembangan seni, secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik, yaitu kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV sampai dengan kelas VI ditandai dengan mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua karakteristik ini tampak pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan karya tiga dimensi lainnya.
Periodisasi masa perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982) adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun menghasilkan periodisasi sebagai berikut:
1.      Masa coreng-moreng (sribbling period) 2-4 tahun


Kesenangan membuat goresan telah muncul pada anak-anak usia dua tahun atau bahkan sebelum dua tahun, sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jari anak yang masih menggunakan motorik kasar. Hal ini dapat kita temukan pada anak yang kerap melubangi atau melukai kertas yang digoresnya.
Pada periode ini terbagi atas tiga tahap, yakni 1) corengan tidak beraturan, 2) corengan terkendali, dan 3) corengan bernama.Ciri gambar yang dihasilkan anak pada tahap corengan tidak beraturan adalah bentuk gambar yang sembarang, mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan berupa lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.Corengan terkendali ditandai dengan kemampuan anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal ini tercipta dengan telah adanya kerjasama antara koordinasi perkembangan visual dengan perkembangan motorik. Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan lingkaran.Corengan bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya, anak mulai mengontrol goresannya bahkan telah memberinya nama, misalnya “rumah”, “mobil”, “bola”.

2.      Masa pra-bagan (pre schematic period) 4-7 tahun


Usia anak pada tahap ini biasanya berada pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar (SD) kelas awal. Kecenderungan umum pada tahap ini, obyek yang digambar anak biasanya berupa gambar kepala-berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan kepala, kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis sebagai pengganti kedua kaki.
Ciri-ciri yang menarik lainnya, pada tahap ini anak telah menggunakan bentuk-bentuk dasar geometris untuk memberi kesan obyek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan lebih berkembang. Aspek warna belum ada hubungan tertentu dengan obyek, orang bisa saja berwarna biru, merah, coklat, atau warna lain yang anak kehendaki.Penempatan dan ukuran obyek bersifat subyektif, didasarkan kepada kepentingannya. Jika obyek gambar lebih dikenalinya, seperti ayah dan ibu, maka gambar dibuat lebih besar dari yang lainnya. Hal ini dinamakan dengan perspektif batin. Penempatan obyek dan penguasaan ruang belum dikuasai anak pada usia ini.

3.      Masa bagan (schematic period) 7-9 tahun


Konsep bentuk mulai tampak jelas pada tahap ini. Anak cenderung mengulang bentuk. Gambar masih tetap berkesan datar dan berputar atau rebah. Pada perkembangan selanjutnya kesadaran ruang muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line).Penafsiran ruang bersifat subyektif, tampak pada gambar tembus pandang. Gejala ini disebut dengan idioplastis (gambar terawang, tembus pandang). Misalnya gambar sebuah rumah yang seolah-olah terbuat dari kaca bening, hingga seluruh isi di dalam rumah kelihatan dengan jelas.
Kenyataan tersebut diperkuat oleh pandangan Max Verworm (dalam Zulkifli, 2002: 45) bahwa “anak menggambar benda-benda menurut apa yang dilihatnya. Hasil karya anak-anak itu disebut gambar fisioplastik”. Anak yang belum berumur 8 tahun belum mampu menggambar apa yang dilihatnya tetapi mereka menggambar menurut apa yang sedang di pikirannya. Hasil karya mereka itu disebut gambar ideoplastik.

4.      Masa realisme awal (early realism) 9-12 tahun


Pada masa realisme awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif mulai muncul, namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan obyek dalam lingkungan. Selain itu, kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya dialami pada masa ini. Perhatian kepada obyek sudah mulai rinci. Namun demikian, dalam menggambarkan obyek, proporsi (perbandingan ukuran) belum dikuasai sepenuhnya.Pemahaman warna mulai disadari.Warna biru langit berbeda dengan biru air laut. Penguasaan konsep ruang mulai dikenal, sehingga letak obyek tidak lagi bertumpu pada garis dasar, melainkan pada bidang dasar sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna dan ruang, penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada periode ini.
5.      Masa naturalisme semu (Pseudo Naturalistic) 12-14 tahun


Pada masa ini, kemampuan berpikir abstrak serta kesadaran sosial semakin berkembang. Perhatian kepada seni mulai kritis, bahkan terhadap karyanya sendiri. Pengamatan kepada obyek lebih rinci. Tampak jelas perbedaan anak-anak bertipe haptic dengan tipe visual. Tipe visual memperlihatkan kesadaran rasa ruang, rasa jarak, dan lingkungan dengan fokus pada hal-hal yang menarik perhatiannya.Gambar-gambar gaya kartun banyak digemari.
Ada sesuatu yang unik pada masa ini, di mana pada satu sisi anak, ekspresi kreatifnya sedang muncul sementara kemampuan intelektualnya berkembang dengan sangat pesat. Sebagai akibatnya, rasio anak seakan-akan menjadi penghambat dalam proses berkarya. Anak ingin menggambar kucing, sementara kemampuan menggambar kucing masih kurang. Sebagai akibatnya mereka malu kalau memperlihatkan karyanya kepada sesamanya.


6.      Periode penentuan (Period of Decision) 14-17 tahun


Pada periode ini tumbuh kesadaran akan kemampuan diri. Perbedaan tipe individual makin tampak. Anak yang berbakat cenderung akan melanjutkan kegiatannya dengan rasa senang, tetapi yang merasa tidak berbakat akan meninggalkan kegiatan seni rupa, terlebih apabila tanpa bimbingan. Di dalam hal ini peran guru banyak menentukan, terutama dalam meyakinkan bahwa keterlibatan manusia dengan seni akan berlangsung terus-menerus dalam kehidupan. Seni bukan urusan seniman saja, tetapi urusan semua orang dan siapa pun tidak akan terhindar dari sentuhan seni dalam kehidupan sehari-hari.

B.           Seni Dalam Pengembangan Potensi Anak
Pendidikan seni merupakan usaha sadar untuk mewariskan atau menularkan kemampuan berkesenian sebagai perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke generasi yang dilakukan oleh para seniman atau pelaku seni kepada siapa pun yang terpanggil untuk menjadi bakal calon seniman (M. Jazuli, 2008: 14). Anak adalah pribadi yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa, dan salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan diri atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan pribadi anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan potensi kreatif dan imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan pengembangan wawasan budaya.
1.            Ruang bagi ekspresi diri
Seni menjadi wahana untuk mengungkapkan keinginan, perasaan, pikiran melalui berbagai bentuk aktivitas seni sehingga menimbulkan kesenangan dan kepuasaan. Berekspresi seni rupa melalui elemen visual berupa garis, warna, bidang, tekstur, volume, dan ruang. Berekspresi seni musik melalui nada, irama, melodi, dan harmoni. Berekspresi seni tari melalui elemen gerak, ruang (bentuk dan volume), waktu (irama), energi (dinamika). Berekspresi teater melalui pemeranan/pelakonan, bahasa, dan dialog. Secara implisit ekspresi diri mengandung makna komunikasi karena siapa pun mengeskpresikan sesuatu mempunyai tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Sejumlah penelitian telah meyakinkan bahwa 90 persen komunikasi emosi disampaikan tanpa kata-kata, keterampilan ini dapat sangat meningkatkan kemampuan anak memahami perasaan orang lain sehingga mampu bertindak cepat (Shapiro dalam M. Jazuli, 2008).
Ekspresi diri juga bermakna aktualisasi diri karena apa yang diungkapkan melibatkan sosok subjek yang menampilkan/mengungkapkan kepada orang lain. Berekspresi juga dapat dimaknai bermain karena bermain adalah pekerjaan anak yang bisa memberikan kebebasan, kesenangan, dan tantangan sebagaimana ketika mereka bermain. Melalui permainan anak¬anak akan memperoleh kesempatan belajar dan mempraktikkan cara-cara baru dalam berpikir, merasakan, dan bertindak. Dengan demikian berekspresi berarti pembelajaran emosi yang selalu melibatkan daya kreasi sering muncul secara spontan ketika Si anak mengungkapkan sesuatu, berkomunikasi, dan bermain.


2.            Pengembangan potensi kreatif
Potensi kreatif ditandai oleh kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu menonjol, percaya diri, sering melontarkan gagasan baru orisinil, berani mengambil resiko dan tampil beda, terbuka terhadap pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan orang lain (M. Jazuli, 2008: 104). Dengan demikian anak kreatif selalu memunculkan gagasan baru, orisinil, cemerlang, dan unik. Dalam jagat seni sangat mampu memberikan peluang yang amat luas bagi berkembangnya segala, potensi kreatif anak secara bebas (nyaman) dan menyenangkan karena tidak ada indoktrinasi, tidak mengenal benar dan salah, tetapi selalu dalam situasi harmoni.
Keadaan semacam ini memungkinkan anak memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide dan meningkatkan rasa empati, menyadari kemampuan sendiri, serta siap menerima tanggapan lingkungan terhadap apa yang diungkapkan. Dengan adanya keberanian tersebut pendidik cukup sebagai fasilitator yang berperan memberikan arahan dan pelayanan secara proporsional dan konstruktif. Misalnya: menciptakan suasana yang mampu memotivasi kepada siswa untuk berani mencetuskan idenya, menyediakan sarana yang mendorong eksplorasi dan eksperimen, bersikap komunikatif, serta cerdas dalam menciptakan lingkungan sekolah yang bebas sekaligus tertib.
Eisner dan Ecker menginformasikan pendapat tokoh pendidikan seni di Amerika Margaret Mathias, Bella Boas, Florence Cane, dan Victor D'Amico bahwa pendidikan seni potensial untuk mencetak manusia kreatif. Hasil penelitian Mohanty dan Hejmadi tahun 1992 menginformasikan bahwa setelah 20 hari anak belajar menari dan bermusik kemudian diberi tes berpikir kreatif, ternyata hasil skornya lebih tinggi dari anak yang tidak belajar menari dan bermusik. Hal ini menunjukkan bahwa menari dan bermusik dapat meningkatkan daya kreatif. Berdasarkan hasil penelitian tersebut kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia sebagai gerakan pendidikan seni yang mempromosikan kekreatifan (M. Jazuli, 2008: 105).


3.            Meningkatkan kepekaan perasaan
Kepekaan perasaan khususnya rasa keindahan alam maupun buatan manusia. Orang yang peka perasaannya ditandai oleh kesadaran dan responsif terhadap gejala yang terjadi di sekitarnya. Hal ini tercermin pada kemampuannya untuk menerima, mengamati, dan menghayati berbagai rangsang dari luar. Dengan kata lain, orang yang peka rasa memiliki daya penghayatan tinggi terhadap lingkungannya sehingga relatif mudah menyerap variasi keindahan yang muncul ke permukaan, seperti tergetar bila mendengar suara gemericik air, deburan ombak, alunan seruling, gesekan biola, gerakan tarian, goresan lukisan, ekspresi wajah pengemis dan orang tuli, dan sebagainya.
Orang yang peka perasaannya cenderung berpikir dan bertindak positif dan konstruktif terhadap lingkungannya sehingga kemudian mendorong para pendidik untuk mencetak siswa yang peka perasaan melalui pembelajaran apresiasi seni di sekolah umum. Untuk menciptakan kepekaan perasaan siswa dalam proses pembelajaran apresiasi seni ditempuh dengan berbagai cara. Misalnya mengenalkan tokoh seniman besar dan karya-karyanya beserta kisah perjalanan hidupnya melalui foto reproduksi, mendengarkan dan menyimak musik secara cermat, mencermati gerakan flora dan fauna serta gerakan tari, mengunjungi galeri, gedung pertunjukan, museum, mengoleksi gambar, foto, kaset, DVD, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan untuk menumbuhkembangkan kepekaan perasaan terhadap keindahan. Kepekaan perasaan sering menjadi modal awal dan utama bagi proses penciptaaan karya seni.

4.            Menumbuhkan rasa percaya diri dan tanggung jawab
Orang yang memiliki rasa percaya diri berarti dia mampu menyesuaikan diri dan mampu berkomunikasi pada berbagai situasi, memiliki kemampuan bersosialisasi, serta memiliki kecerdasan yang cukup. Implikasi dari rasa percaya diri adalah munculnya sikap mandiri, yang di dalamnya memuat rasa tanggung jawab. Hasil penelitian Atip Nurharini menginformasikan bahwa pembelajaran tari mampu mengembangkan rasa kepercayan diri anak ( M. Jazuli, 2008 : 106).
Rasa percaya diri anak dimaksud adalah suatu keyakinan atas segala aspek kelebihan yang dimiliki anak, dan dengan keyakinan itu membuat diri anak mampu untuk bisa mencapai berbagai tujuan dan keinginan didalam hidupnya. Cara yang dilakukan guru dalam pembelajaran tari untuk mengembangkan rasa percaya anak meliputi:
a.       Pemberian bimbingan sebagai dasar pengembangan rasa percaya anak melalui perlakuan, seperti memberikan sentuhan, memotivasi anak, pengkondisian relaksasi, menumbuhkan rasa bangga, melatih berekspresi, berkreativitas, bersosialisasi, melatih bertanggung jawab, dan memberikan stimulan pada anak;
b.      Materi tari disesuaikan dengan karakter anak seperti tari bergembira dan mengandung permainan, serta tari garapan baru yang mampu menghibur maupun mengundang simpati anak;
c.       Metode yang digunakan adalah peniruan, bermain, bercerita dan demonstrasi;
d.      Evaluasi dilakukan dengan cara pengamatan tentang kemampuan prestasi anak dan perubahan perilaku anak.

Setelah anak diberi pembelajaran tari karakteristik rasa kepercayan diri anak terlihat dari munculnya perasaaan bangga, memiliki sifat pemberani, mampu mengendalikan emosi, mampu mengasah kehalusan budi, mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mandiri, mudah berinteraksi, memiliki prestasi lebih baik, berkembang imajinasinya, dan kreatif.

5.            Mengembangkan wawasan budaya
Pendidikan seni adalah pendidikan berbasis budaya, artinya belajar seni sekaligus belajar budaya dari mana seni tersebut berasal. Belajar dengan seni atau melalui seni yang beragam sama halnya dengan belajar banyak tentang budaya-bermakna pengayaan wawasan budaya. Wawasan budaya bisa berkembang bila orang memiliki kesadaran budaya yaitu semacam sikap peduli bahwa dirinya merupakan bagian dari masyarakat di mana dia hidup. Sikap 'peduli' ini lebih penting daripada sikap 'memiliki' karena kepedulian mengandung nilai perhatian yang tinggi dan kesadaran penuh untuk selalu memelihara meskipun sesuatu yang dipedulikan bukan miliknya, sebaliknya memiliki bisa bermakna belum mau memelihara, merawat, jadi tidak peduli. Dengan kepedulian terhadap budaya masyarakat akan melahirkan rasa cinta, bangga, dan kebutuhan untuk melestarikan budaya.
Oleh karena itu wajar bila pendidikan seni dianggap sangat efektif untuk menumbuhkan kesadaran budaya. Contohnya adalah seni mimesis dari Yunani, yang sampai sekarang masih menjadi salah satu model pembelajaran melukis, dengan tujuan untuk menanamkan rasa memiliki pada diri anak seni terhadap budaya sendiri; di Cina anak sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana menggunakan kuas, cara duduk yang tepat, mencampur tinta untuk melukis kaligrafi gaya Cina; di Jepang seni rupa ala Jepang menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah umum; di Indoensia sejak zaman kerajaan, anak-anak raja di Jawa diwajibkan menguasai beberapa bentuk dan jenis seni, seperti harus bisa bermain gamelan, menari, menulis sastra, membuat syair (tembang), dan sebagainya.
Bahkan dalam sejarah seni budaya istana Jawa sudah banyak berkolaborasi dengan budaya dari daerah lain maupun mancanegara. Contonya adalah ornamen atau hiasan yang terpampang pada bangunan istana Jawa tampak telah bercampur dengan budaya Cina, budaya Hindu, budaya Barat (Eropa). Semua contoh tersebut pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan kekaguman pada diri anak-anak terhadap budayanya sendiri, tanpa menjadikan superioritas. Oleh karena itu kesadaran budaya perlu ditanamkan sejak dini, sejak anak-anak melalui pendidikan seni. Sebagimana pernah diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara bersama sekolah Taman Siswanya, yang didirikan untuk kepentingan anak bangsa Indonesia.
Salah satu pidato beliau mengenai hubungan pendidikan dan kultur yang disampaikan di RRI Yogyakarta 14 Januari 1940 ( Dalam M. Jazuli, 2008 : 108) seperti berikut ini:
"... dengan pendidikan menghaluskan perasaan, anak-anak kita hendaknya mendapatkan kecerdasan yang luas dan sempurna dari rohnya, jiwanya, budinya, hingga mereka hendaknyalah mendapatkan tingkatan yang luhur sebagai manusia (mempertinggi value human)."

6.            Meningkatkan kesehatan
Suatu kekayaan yang tak ternilai harganya bagi setiap orang adalah kesehatan. Oleh karenanya semua orang selalu ingin sehat jasmani dan rokhani. Sungguhpun aktivitas seni banyak bergulat pada wilayah rohani (olahrasa dan olahhati) tetapi bukan berarti mengesampingkan olahraga pada wilayah jasmani. Ada kecenderungan bahwa sumber kesehatan manusia terletak pada jiwa, rohani. Artinya bila orang jiwanya sehat maka jasmaninya cenderung juga sehat, terkecuali orang gila. Bila jasmani seseorang sakit maka jiwanya belum tentu sakit, mungkin agak sedikit terganggu. Oleh karena itu, orang yang berkesenian sangat berpeluang untuk selalu sehat, dalam arti sehat jiwanya, apalagi bila berkesenian tari maka akan sehat jasmani dan rohaninya.
Seni tari dengan mediumnya gerak, ruang, waktu, tenaga tampak jelas memerlukan olah rasa (estetika), olah hati (etika), olah cipta (logika), dan olahraga (kinestetika). Dibandingkan dengan cabang seni lainnya seni tari lebih berperan penting dalam mengembangkan ketahanan, kelenturan, keseimbangan, dan kebugaran jasmani (tubuh) bagi kesehatan setiap orang secara menyeluruh. Meskipun demikian kebugaran dalam seni tari tidak menjadi rumusan tujuan, yang lebih utama adalah kesehatan. Kebugaran menjadi persyaratan instrumen bagi penari dimaksudkan agar gerakan tarinya tampak lebih luwes, ringan, dan enak dipandang. Keaktifan fisik (kinestetik) pada seni rupa tampak pada sapuan kuas, membentuk tanah liat, mencetak bidang, sedangkan pada seni musik aktivitas fisik tampak pada memukul drum, menggesek biota, meniup terompet, tetapi tidaklah seintensif dan dominan sebagaimana seni tari.

























BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Tahap perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982): Masa coreng-moreng (sribbling period) 2-4 tahun, Masa pra-bagan (pre schematic period) 4-7 tahun, Masa bagan (schematic period) 7-9 tahun, Masa realisme awal (early realism) 9-12 tahun, Masa naturalisme semu (Pseudo Naturalistic)12-14 tahun, Periode penentuan (Period of Decision) 14-17 tahun. Anak adalah pribadi yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa, dan salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan diri atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi kepada perkembangan potensi pribadi anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan potensi kreatif dan imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan pengembangan wawasan budaya.












Daftar Pustaka

Jazuli, M. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni. UnesaUniversity Press: Surabaya.
Lowenfeld, V., & Brittain, L. 1982. Creative and Mental Growth. New York: Maemillan.
Zulkifli, L. 2002. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.




























5 Responses to "makalah mengembangkan potensi seni anak"

  1. Nomor halaman di urutan daftar isi itu tampak kurang rapi ya
    Ah jadi ingat, dulu suka dapat job mengetik hal-hal beginian, bahkan skripsi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mas Djangkaru memang agak berantakan daftar isinya mau edit agak males hehehe

      Hapus
  2. Aaaaaa sial, langsung keinget skripsi wgwgwgw :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. sabar, saya juga pernah ngalami jaman skripsi dulu betapa hebohnya

      Hapus
  3. Aaaaaaa.... jadi keinget bu dosen...

    BalasHapus

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel