makalah mengembangkan potensi seni anak
Oktober 16, 2019
5 Comments
MAKALAH
MENGEMBANGKAN POTENSI
SENI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas Pengembangan
Pembelajaran Seni di SD
Dosen Pengampu :
Dr. Kamsidjo Budi Utomo, M.Pd.
Dr. Syakir, M.Sn
Dr. Syakir, M.Sn
Oleh
:
Katrina Ramadhani 0103517066
Muhammad 0103517074
Kurnia Widi Haryono 0103517091
Rombel 5
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DASAR S2 (PGSD)
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala yang telah memberikan
karunia dan rahmat-Nya kepada penyusun, sehingga kami dapat menyelesaikan
penyusunan Makalah dengan judul "Mengembangkan
Potensi Seni untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran
Seni di SD”.
Dalam penyelesaian
makalah ini penyusun berusaha untuk melakukan yang terbaik, namun kami
menyadari bahwa kemampuan kami terbatas.Oleh karena itu kritik dan saran
sangatlah kami harapkan dan dapat disampaikan secara langsung maupun tidak
langsung.
Dengan selesainya
makalah ini kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
proses penyelesaian makalah ini yang telah memberikan dorongan, masukan dan
semangat.
Semoga apa yang kami
tulis ini bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat pada umumnya serta
mendapat ridha dari Allah Subhanahu
wata’ala. Aamiin
Semarang,
Agustus 2018
PENYUSUN
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. 2
Daftar Isi........................................................................................................... 3
Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang ................................................................................... 4
B. Rumusan Masalah................................................................................ 5
C. Tujuan ................................................................................................. 5
Bab II
Pembahasan
A. Tahap Perkembangan Seni Anak........................................................ 6
1. Masa Coreng-Moreng (Sribbling Period) 2-4 Tahun.................... 6
2. Masa Pra-Bagan (Pre Schematic Period) 4-7 Tahun.................... 7
3. Masa Bagan (Schematic Period) 7-9 Tahun.................................. 8
4. Masa Realisme Awal (Early Realism) 9-12 Tahun ...................... 9
5. Masa Naturalisme Semu (Pseudo
Naturalistic)12-14 Tahun........ 10
6. Periode Penentuan (Period Of Decision) 14-17 Tahun.................
11
B. Seni dalam Pengembangan Potensi Anak........................................... 11
1. Ruang bagi Ekspresi Diri.............................................................. 12
2. Pengembanagn Potensi Kreatif..................................................... 13
3. Meningkatkan Kepekaan Perasaan................................................ 14
4. Menumbuhkan Rasa Percaya Diri dan Tanggungjawab............... 14
5. Mengembangkan Wawasan Budaya............................................. 15
6. Meningkatkan Kesehatan.............................................................. 17
Bab III
Penutup
A. Simpulan ............................................................................................. 19
Daftar Pustaka.................................................................................................. 20
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Kata
seni adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun
dengan kadar pemahaman yang berbeda. Konon kabarnya kata seni berasal dari kata
“sani” yang kurang lebih artinya “Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa”. Mungkin
saya memaknainya dengan keberangkatan orang/ seniaman saat akan membuat karya
seni, namun menurut kajian ilimu di eropa mengatakan “ART” (artivisial) yang
artinya kurang lebih adalah barang/ atau karya dari sebuah kegiatan. Namun kita
tidaka usah mempersoalkan makna ini, karena kenyataannya kalu kita
memperdebatkan makna yang seperti ini akan semakain memperkeruh suasana
kesenian, biarlah orang memilih yang mana terserah mereka.
Seni
adalah proses yang sengaja mengatur unsur-unsur dalam suatu cara yang menarik
indra atau emosi. Ini mencakup berbagai macam kegiatan manusia, ciptaan, dan
cara berekspresi, termasuk musik, sastra, film, patung, dan lukisan. Makna seni
ini dibahas dalam cabang filsafat yang dikenal sebagai estetika.
Kreaivitas
merupakan suatu ungkapan yang tidak asing lagi di dalam kehidupan sehari-hari,
khususnya untuk anak usia prasekolah yang selalu berusaha untuk menciptakan
segala sesuatu sesuai dengan imajinasinya. Kreativitas anak di tk ditampilkan
dalam berbagai bentuk, baik dalam bentuk gambar yang dia sukai, bercerita,
bermain peran ataupun menampilkan berbagai gerakan yang berkaitan dengan
aktivitas motoriknya. Pengembangan kreativitas anak terdapat pada seluruh
bidang kemampuan dasar, yaitu meliputi bidang pengembangan berbahasa, kognitif,
dan fisik motor. Dan yang tidak kalah penting adalah pengembangan kreativitas
anak dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni. Dalam pengembangan
kreativitas dalam bidang pengembangan kemampuan dasar seni terdapat berbagai
macam kegiatan yang dapat dilakukan, baik dalam bidang seni tari, seni rupa,
maupun seni musik.
B.
Ruumusan
Masalah
1. Bagaimana
tahap perkembangan seni anak?
2. Bagaimana
seni dalam pengembangan potensi anak?
C.
Tujuan
1. Untuk
mengetahui tahap perkembangan seni anak.
2. Untuk
menegtahui seni dalam pengembangan potensi anak.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Tahap
Perkembangan Seni Anak
Setiap
guru SD perlu mengenal latar belakang anak didiknya, khususnya landasan teori
tentang dunia kesenirupaan anak yang telah dikembangkan oleh para ahli, agar ia
dapat memilih strategi pembelajaran yang sesuai dengan kondisi siswa. Anak
Sekolah Dasar (SD) berusia sekitar 6 - 12 tahun. Berdasarkan teori tahap-tahap
perkembangan seni, secara garis besar dapat dibedakan dua tahap karakteristik,
yaitu kelas I sampai dengan kelas III ditandai dengan kuatnya daya
fantasi-imajinasi, sedangkan kelas IV sampai dengan kelas VI ditandai dengan
mulai berfungsinya kekuatan rasio. Perbedaan kedua karakteristik ini tampak
pada gambar-gambar (karya dua dimensi) atau model, patung dan perwujudan karya
tiga dimensi lainnya.
Periodisasi
masa perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982)
adalah: Penyelidikan yang dilakukan terhadap anak-anak usia 2 sampai 17 tahun
menghasilkan periodisasi sebagai berikut:
1.
Masa coreng-moreng (sribbling
period) 2-4 tahun
Kesenangan
membuat goresan telah muncul pada anak-anak usia dua tahun atau bahkan sebelum
dua tahun, sejalan dengan perkembangan motorik tangan dan jari anak yang masih
menggunakan motorik kasar. Hal ini dapat kita temukan pada anak yang kerap
melubangi atau melukai kertas yang digoresnya.
Pada
periode ini terbagi atas tiga tahap, yakni 1) corengan tidak beraturan, 2)
corengan terkendali, dan 3) corengan bernama.Ciri gambar yang dihasilkan anak
pada tahap corengan tidak beraturan adalah bentuk gambar yang sembarang,
mencoreng tanpa melihat ke kertas, belum dapat membuat corengan berupa
lingkaran dan memiliki semangat yang tinggi.Corengan terkendali ditandai dengan
kemampuan anak menemukan kendali visualnya terhadap coretan yang dibuatnya. Hal
ini tercipta dengan telah adanya kerjasama antara koordinasi perkembangan
visual dengan perkembangan motorik. Hal ini terbukti dengan adanya pengulangan
coretan garis baik yang horizontal, vertikal, lengkung, bahkan lingkaran.Corengan
bernama merupakan tahap akhir masa coreng moreng. Biasanya terjadi menjelang
usia 3-4 tahun, sejalan dengan perkembangan bahasanya, anak mulai mengontrol
goresannya bahkan telah memberinya nama, misalnya “rumah”, “mobil”, “bola”.
2.
Masa pra-bagan (pre
schematic period) 4-7 tahun
Usia
anak pada tahap ini biasanya berada pada jenjang PAUD dan Sekolah Dasar (SD)
kelas awal. Kecenderungan umum pada tahap ini, obyek yang digambar anak
biasanya berupa gambar kepala-berkaki. Sebuah lingkaran yang menggambarkan
kepala, kemudian pada bagian bawahnya ada dua garis sebagai pengganti kedua
kaki.
Ciri-ciri
yang menarik lainnya, pada tahap ini anak telah menggunakan bentuk-bentuk dasar
geometris untuk memberi kesan obyek dari dunia sekitarnya. Koordinasi tangan
lebih berkembang. Aspek warna belum ada hubungan tertentu dengan obyek, orang
bisa saja berwarna biru, merah, coklat, atau warna lain yang anak
kehendaki.Penempatan dan ukuran obyek bersifat subyektif, didasarkan kepada
kepentingannya. Jika obyek gambar lebih dikenalinya, seperti ayah dan ibu, maka
gambar dibuat lebih besar dari yang lainnya. Hal ini dinamakan dengan
perspektif batin. Penempatan obyek dan penguasaan ruang belum dikuasai anak
pada usia ini.
3.
Masa bagan (schematic period)
7-9 tahun
Konsep
bentuk mulai tampak jelas pada tahap ini. Anak cenderung mengulang bentuk.
Gambar masih tetap berkesan datar dan berputar atau rebah. Pada perkembangan
selanjutnya kesadaran ruang muncul dengan dibuatnya garis pijak (base line).Penafsiran
ruang bersifat subyektif, tampak pada gambar tembus pandang. Gejala ini disebut
dengan idioplastis (gambar terawang,
tembus pandang). Misalnya gambar sebuah rumah yang seolah-olah terbuat dari
kaca bening, hingga seluruh isi di dalam rumah kelihatan dengan jelas.
Kenyataan
tersebut diperkuat oleh pandangan Max Verworm (dalam Zulkifli, 2002: 45) bahwa
“anak menggambar benda-benda menurut apa yang dilihatnya. Hasil karya anak-anak
itu disebut gambar fisioplastik”. Anak yang belum berumur 8 tahun belum mampu
menggambar apa yang dilihatnya tetapi mereka menggambar menurut apa yang sedang
di pikirannya. Hasil karya mereka itu disebut gambar ideoplastik.
4.
Masa realisme awal (early
realism) 9-12 tahun
Pada
masa realisme awal, karya anak lebih menyerupai kenyataan. Kesadaran perspektif
mulai muncul, namun berdasarkan penglihatan sendiri. Mereka menyatukan obyek
dalam lingkungan. Selain itu, kesadaran untuk berkelompok dengan teman sebaya
dialami pada masa ini. Perhatian kepada obyek sudah mulai rinci. Namun
demikian, dalam menggambarkan obyek, proporsi (perbandingan ukuran) belum
dikuasai sepenuhnya.Pemahaman warna mulai disadari.Warna biru langit berbeda
dengan biru air laut. Penguasaan konsep ruang mulai dikenal, sehingga letak
obyek tidak lagi bertumpu pada garis dasar, melainkan pada bidang dasar
sehingga mulai ditemukan garis horizon. Selain dikenalnya warna dan ruang,
penguasaan unsur desain seperti keseimbangan dan irama mulai dikenal pada
periode ini.
5.
Masa naturalisme
semu (Pseudo Naturalistic) 12-14
tahun
Pada
masa ini, kemampuan berpikir abstrak serta kesadaran sosial semakin berkembang.
Perhatian kepada seni mulai kritis, bahkan terhadap karyanya sendiri.
Pengamatan kepada obyek lebih rinci. Tampak jelas perbedaan anak-anak bertipe
haptic dengan tipe visual. Tipe visual memperlihatkan kesadaran rasa ruang,
rasa jarak, dan lingkungan dengan fokus pada hal-hal yang menarik
perhatiannya.Gambar-gambar gaya kartun banyak digemari.
Ada
sesuatu yang unik pada masa ini, di mana pada satu sisi anak, ekspresi
kreatifnya sedang muncul sementara kemampuan intelektualnya berkembang dengan
sangat pesat. Sebagai akibatnya, rasio anak seakan-akan menjadi penghambat
dalam proses berkarya. Anak ingin menggambar kucing, sementara kemampuan
menggambar kucing masih kurang. Sebagai akibatnya mereka malu kalau
memperlihatkan karyanya kepada sesamanya.
6.
Periode penentuan (Period of Decision) 14-17 tahun
Pada
periode ini tumbuh kesadaran akan kemampuan diri. Perbedaan tipe individual
makin tampak. Anak yang berbakat cenderung akan melanjutkan kegiatannya dengan
rasa senang, tetapi yang merasa tidak berbakat akan meninggalkan kegiatan seni
rupa, terlebih apabila tanpa bimbingan. Di dalam hal ini peran guru banyak
menentukan, terutama dalam meyakinkan bahwa keterlibatan manusia dengan seni
akan berlangsung terus-menerus dalam kehidupan. Seni bukan urusan seniman saja,
tetapi urusan semua orang dan siapa pun tidak akan terhindar dari sentuhan seni
dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Seni
Dalam Pengembangan Potensi Anak
Pendidikan
seni merupakan usaha sadar untuk mewariskan atau menularkan kemampuan
berkesenian sebagai perwujudan transformasi kebudayaan dari generasi ke
generasi yang dilakukan oleh para seniman atau pelaku seni kepada siapa pun
yang terpanggil untuk menjadi bakal calon seniman (M. Jazuli, 2008: 14). Anak
adalah pribadi yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda dengan
orang dewasa, dan salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan
mengekspresikan diri atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan
kontribusi kepada perkembangan pribadi anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud
berkaitan dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan potensi kreatif dan
imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan
pengembangan wawasan budaya.
1.
Ruang
bagi ekspresi diri
Seni
menjadi wahana untuk mengungkapkan keinginan, perasaan, pikiran melalui
berbagai bentuk aktivitas seni sehingga menimbulkan kesenangan dan kepuasaan.
Berekspresi seni rupa melalui elemen visual berupa garis, warna, bidang,
tekstur, volume, dan ruang. Berekspresi seni musik melalui nada, irama, melodi,
dan harmoni. Berekspresi seni tari melalui elemen gerak, ruang (bentuk dan
volume), waktu (irama), energi (dinamika). Berekspresi teater melalui
pemeranan/pelakonan, bahasa, dan dialog. Secara implisit ekspresi diri
mengandung makna komunikasi karena siapa pun mengeskpresikan sesuatu mempunyai
tujuan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Sejumlah penelitian telah
meyakinkan bahwa 90 persen komunikasi emosi disampaikan tanpa kata-kata,
keterampilan ini dapat sangat meningkatkan kemampuan anak memahami perasaan
orang lain sehingga mampu bertindak cepat (Shapiro dalam M. Jazuli, 2008).
Ekspresi
diri juga bermakna aktualisasi diri karena apa yang diungkapkan melibatkan
sosok subjek yang menampilkan/mengungkapkan kepada orang lain. Berekspresi juga
dapat dimaknai bermain karena bermain adalah pekerjaan anak yang bisa
memberikan kebebasan, kesenangan, dan tantangan sebagaimana ketika mereka
bermain. Melalui permainan anak¬anak akan memperoleh kesempatan belajar dan
mempraktikkan cara-cara baru dalam berpikir, merasakan, dan bertindak. Dengan
demikian berekspresi berarti pembelajaran emosi yang selalu melibatkan daya
kreasi sering muncul secara spontan ketika Si anak mengungkapkan sesuatu,
berkomunikasi, dan bermain.
2.
Pengembangan
potensi kreatif
Potensi
kreatif ditandai oleh kemampuan berpikir kritis, rasa ingin tahu menonjol,
percaya diri, sering melontarkan gagasan baru orisinil, berani mengambil resiko
dan tampil beda, terbuka terhadap pengalaman baru, menghargai diri sendiri dan
orang lain (M. Jazuli, 2008: 104). Dengan demikian anak kreatif selalu
memunculkan gagasan baru, orisinil, cemerlang, dan unik. Dalam jagat seni
sangat mampu memberikan peluang yang amat luas bagi berkembangnya segala,
potensi kreatif anak secara bebas (nyaman) dan menyenangkan karena tidak ada
indoktrinasi, tidak mengenal benar dan salah, tetapi selalu dalam situasi
harmoni.
Keadaan
semacam ini memungkinkan anak memiliki keberanian untuk mengungkapkan ide dan
meningkatkan rasa empati, menyadari kemampuan sendiri, serta siap menerima
tanggapan lingkungan terhadap apa yang diungkapkan. Dengan adanya keberanian
tersebut pendidik cukup sebagai fasilitator yang berperan memberikan arahan dan
pelayanan secara proporsional dan konstruktif. Misalnya: menciptakan suasana
yang mampu memotivasi kepada siswa untuk berani mencetuskan idenya, menyediakan
sarana yang mendorong eksplorasi dan eksperimen, bersikap komunikatif, serta
cerdas dalam menciptakan lingkungan sekolah yang bebas sekaligus tertib.
Eisner
dan Ecker menginformasikan pendapat tokoh pendidikan seni di Amerika Margaret
Mathias, Bella Boas, Florence Cane, dan Victor D'Amico bahwa pendidikan seni
potensial untuk mencetak manusia kreatif. Hasil penelitian Mohanty dan Hejmadi
tahun 1992 menginformasikan bahwa setelah 20 hari anak belajar menari dan
bermusik kemudian diberi tes berpikir kreatif, ternyata hasil skornya lebih
tinggi dari anak yang tidak belajar menari dan bermusik. Hal ini menunjukkan
bahwa menari dan bermusik dapat meningkatkan daya kreatif. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut kemudian menyebar ke seluruh penjuru dunia sebagai gerakan
pendidikan seni yang mempromosikan kekreatifan (M. Jazuli, 2008: 105).
3.
Meningkatkan
kepekaan perasaan
Kepekaan
perasaan khususnya rasa keindahan alam maupun buatan manusia. Orang yang peka
perasaannya ditandai oleh kesadaran dan responsif terhadap gejala yang terjadi
di sekitarnya. Hal ini tercermin pada kemampuannya untuk menerima, mengamati,
dan menghayati berbagai rangsang dari luar. Dengan kata lain, orang yang peka
rasa memiliki daya penghayatan tinggi terhadap lingkungannya sehingga relatif
mudah menyerap variasi keindahan yang muncul ke permukaan, seperti tergetar
bila mendengar suara gemericik air, deburan ombak, alunan seruling, gesekan
biola, gerakan tarian, goresan lukisan, ekspresi wajah pengemis dan orang tuli,
dan sebagainya.
Orang
yang peka perasaannya cenderung berpikir dan bertindak positif dan konstruktif
terhadap lingkungannya sehingga kemudian mendorong para pendidik untuk mencetak
siswa yang peka perasaan melalui pembelajaran apresiasi seni di sekolah umum.
Untuk menciptakan kepekaan perasaan siswa dalam proses pembelajaran apresiasi
seni ditempuh dengan berbagai cara. Misalnya mengenalkan tokoh seniman besar
dan karya-karyanya beserta kisah perjalanan hidupnya melalui foto reproduksi,
mendengarkan dan menyimak musik secara cermat, mencermati gerakan flora dan
fauna serta gerakan tari, mengunjungi galeri, gedung pertunjukan, museum,
mengoleksi gambar, foto, kaset, DVD, dan sebagainya. Semua itu dimaksudkan
untuk menumbuhkembangkan kepekaan perasaan terhadap keindahan. Kepekaan
perasaan sering menjadi modal awal dan utama bagi proses penciptaaan karya
seni.
4.
Menumbuhkan
rasa percaya diri dan tanggung jawab
Orang
yang memiliki rasa percaya diri berarti dia mampu menyesuaikan diri dan mampu
berkomunikasi pada berbagai situasi, memiliki kemampuan bersosialisasi, serta
memiliki kecerdasan yang cukup. Implikasi dari rasa percaya diri adalah
munculnya sikap mandiri, yang di dalamnya memuat rasa tanggung jawab. Hasil
penelitian Atip Nurharini menginformasikan bahwa pembelajaran tari mampu
mengembangkan rasa kepercayan diri anak ( M. Jazuli, 2008 : 106).
Rasa
percaya diri anak dimaksud adalah suatu keyakinan atas segala aspek kelebihan
yang dimiliki anak, dan dengan keyakinan itu membuat diri anak mampu untuk bisa
mencapai berbagai tujuan dan keinginan didalam hidupnya. Cara yang dilakukan
guru dalam pembelajaran tari untuk mengembangkan rasa percaya anak meliputi:
a. Pemberian
bimbingan sebagai dasar pengembangan rasa percaya anak melalui perlakuan,
seperti memberikan sentuhan, memotivasi anak, pengkondisian relaksasi,
menumbuhkan rasa bangga, melatih berekspresi, berkreativitas, bersosialisasi,
melatih bertanggung jawab, dan memberikan stimulan pada anak;
b. Materi
tari disesuaikan dengan karakter anak seperti tari bergembira dan mengandung
permainan, serta tari garapan baru yang mampu menghibur maupun mengundang
simpati anak;
c. Metode
yang digunakan adalah peniruan, bermain, bercerita dan demonstrasi;
d. Evaluasi
dilakukan dengan cara pengamatan tentang kemampuan prestasi anak dan perubahan
perilaku anak.
Setelah
anak diberi pembelajaran tari karakteristik rasa kepercayan diri anak terlihat
dari munculnya perasaaan bangga, memiliki sifat pemberani, mampu mengendalikan
emosi, mampu mengasah kehalusan budi, mampu menumbuhkan rasa tanggung jawab dan
mandiri, mudah berinteraksi, memiliki prestasi lebih baik, berkembang
imajinasinya, dan kreatif.
5.
Mengembangkan
wawasan budaya
Pendidikan
seni adalah pendidikan berbasis budaya, artinya belajar seni sekaligus belajar
budaya dari mana seni tersebut berasal. Belajar dengan seni atau melalui seni
yang beragam sama halnya dengan belajar banyak tentang budaya-bermakna
pengayaan wawasan budaya. Wawasan budaya bisa berkembang bila orang memiliki
kesadaran budaya yaitu semacam sikap peduli bahwa dirinya merupakan bagian dari
masyarakat di mana dia hidup. Sikap 'peduli' ini lebih penting daripada sikap
'memiliki' karena kepedulian mengandung nilai perhatian yang tinggi dan
kesadaran penuh untuk selalu memelihara meskipun sesuatu yang dipedulikan bukan
miliknya, sebaliknya memiliki bisa bermakna belum mau memelihara, merawat, jadi
tidak peduli. Dengan kepedulian terhadap budaya masyarakat akan melahirkan rasa
cinta, bangga, dan kebutuhan untuk melestarikan budaya.
Oleh
karena itu wajar bila pendidikan seni dianggap sangat efektif untuk menumbuhkan
kesadaran budaya. Contohnya adalah seni mimesis dari Yunani, yang sampai
sekarang masih menjadi salah satu model pembelajaran melukis, dengan tujuan
untuk menanamkan rasa memiliki pada diri anak seni terhadap budaya sendiri; di
Cina anak sejak sekolah dasar sudah diajarkan bagaimana menggunakan kuas, cara
duduk yang tepat, mencampur tinta untuk melukis kaligrafi gaya Cina; di Jepang
seni rupa ala Jepang menjadi bagian dari kurikulum pendidikan di sekolah umum;
di Indoensia sejak zaman kerajaan, anak-anak raja di Jawa diwajibkan menguasai
beberapa bentuk dan jenis seni, seperti harus bisa bermain gamelan, menari,
menulis sastra, membuat syair (tembang), dan sebagainya.
Bahkan
dalam sejarah seni budaya istana Jawa sudah banyak berkolaborasi dengan budaya
dari daerah lain maupun mancanegara. Contonya adalah ornamen atau hiasan yang
terpampang pada bangunan istana Jawa tampak telah bercampur dengan budaya Cina,
budaya Hindu, budaya Barat (Eropa). Semua contoh tersebut pada dasarnya
bertujuan untuk menanamkan kecintaan dan kekaguman pada diri anak-anak terhadap
budayanya sendiri, tanpa menjadikan superioritas. Oleh karena itu kesadaran
budaya perlu ditanamkan sejak dini, sejak anak-anak melalui pendidikan seni.
Sebagimana pernah diperjuangkan oleh Ki Hajar Dewantara bersama sekolah Taman
Siswanya, yang didirikan untuk kepentingan anak bangsa Indonesia.
Salah
satu pidato beliau mengenai hubungan pendidikan dan kultur yang disampaikan di
RRI Yogyakarta 14 Januari 1940 ( Dalam M. Jazuli, 2008 : 108) seperti berikut
ini:
"...
dengan pendidikan menghaluskan perasaan, anak-anak kita hendaknya mendapatkan kecerdasan
yang luas dan sempurna dari rohnya, jiwanya, budinya, hingga mereka
hendaknyalah mendapatkan tingkatan yang luhur sebagai manusia (mempertinggi
value human)."
6.
Meningkatkan
kesehatan
Suatu
kekayaan yang tak ternilai harganya bagi setiap orang adalah kesehatan. Oleh
karenanya semua orang selalu ingin sehat jasmani dan rokhani. Sungguhpun
aktivitas seni banyak bergulat pada wilayah rohani (olahrasa dan olahhati)
tetapi bukan berarti mengesampingkan olahraga pada wilayah jasmani. Ada
kecenderungan bahwa sumber kesehatan manusia terletak pada jiwa, rohani.
Artinya bila orang jiwanya sehat maka jasmaninya cenderung juga sehat,
terkecuali orang gila. Bila jasmani seseorang sakit maka jiwanya belum tentu
sakit, mungkin agak sedikit terganggu. Oleh karena itu, orang yang berkesenian
sangat berpeluang untuk selalu sehat, dalam arti sehat jiwanya, apalagi bila
berkesenian tari maka akan sehat jasmani dan rohaninya.
Seni
tari dengan mediumnya gerak, ruang, waktu, tenaga tampak jelas memerlukan olah
rasa (estetika), olah hati (etika), olah cipta (logika), dan olahraga
(kinestetika). Dibandingkan dengan cabang seni lainnya seni tari lebih berperan
penting dalam mengembangkan ketahanan, kelenturan, keseimbangan, dan kebugaran
jasmani (tubuh) bagi kesehatan setiap orang secara menyeluruh. Meskipun
demikian kebugaran dalam seni tari tidak menjadi rumusan tujuan, yang lebih
utama adalah kesehatan. Kebugaran menjadi persyaratan instrumen bagi penari
dimaksudkan agar gerakan tarinya tampak lebih luwes, ringan, dan enak
dipandang. Keaktifan fisik (kinestetik) pada seni rupa tampak pada sapuan kuas,
membentuk tanah liat, mencetak bidang, sedangkan pada seni musik aktivitas
fisik tampak pada memukul drum, menggesek biota, meniup terompet, tetapi
tidaklah seintensif dan dominan sebagaimana seni tari.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Tahap
perkembangan seni anak menurut Viktor Lowenfeld dan Lambert Brittain (1982): Masa coreng-moreng (sribbling period)
2-4 tahun, Masa pra-bagan (pre schematic period) 4-7 tahun, Masa bagan (schematic
period) 7-9 tahun, Masa realisme awal (early realism) 9-12 tahun,
Masa naturalisme semu (Pseudo
Naturalistic)12-14 tahun, Periode penentuan (Period of Decision) 14-17 tahun. Anak adalah pribadi
yang unik memiliki kemampuan dan kebutuhan yang berbeda dengan orang dewasa,
dan salah satu kebutuhan anak yang khas adalah kebutuhan mengekspresikan diri
atau menyatakan diri. Pendidikan seni dapat memberikan kontribusi kepada
perkembangan potensi pribadi anak (siswa). Kontribusi yang dimaksud berkaitan
dengan pemberian ruang berekspresi, pengembangan potensi kreatif dan
imajinatif, peningkatan kepekaan rasa, menumbuhkan rasa percaya diri, dan
pengembangan wawasan budaya.
Daftar Pustaka
Jazuli, M. 2008. Paradigma Kontekstual Pendidikan Seni.
UnesaUniversity Press: Surabaya.
Lowenfeld, V., &
Brittain, L. 1982. Creative and Mental Growth.
New York: Maemillan.
Zulkifli, L.
2002. Psikologi Perkembangan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Nomor halaman di urutan daftar isi itu tampak kurang rapi ya
BalasHapusAh jadi ingat, dulu suka dapat job mengetik hal-hal beginian, bahkan skripsi.
makasih mas Djangkaru memang agak berantakan daftar isinya mau edit agak males hehehe
HapusAaaaaa sial, langsung keinget skripsi wgwgwgw :D
BalasHapussabar, saya juga pernah ngalami jaman skripsi dulu betapa hebohnya
HapusAaaaaaa.... jadi keinget bu dosen...
BalasHapus